oleh

PENDEKATAN SOFT POWER DI PAPUA

JAKARTA | BERITA PERUBAHAN -Perasaan geli bercampur kesal, itulah kesan pertama jika kita melihat video beberapa waktu lalu menampilkan keributan antara personil POLRI dan TNI di Papua gara-gara togel. Yah, togel menurut hukum adalah tindak pidana klas judi. Kenapa togel masih berlangsung di tanah air? Bukankah semua tahu bahwa togel bisa menjadi sumber pertikaian seperti terjadi di atas? Keluarga bisa ribut kalau suami menghabiskan uang untuk togel. Togel akan memiskinkan banyak orang sudah pasti. Kemiskinan sumber dosa kata pemuka agama karena menjadi sumber kejahatan-kejahatan sosial berantai. Semarak togel di Papua akan semakin memarjinalkan warga Papua atau Orang Asli Papua (OAP) dibandingkan dengan pendatang yang pada umumnya kondisi sosial-ekonomi mereka lebih mapan.

Beberapa minggu lalu Indonesia tertegun juga melihat Presiden Joko Widodo memerintahkan jajaran aparat negara menumpas separatis-teroris OPM/TPN
-KKB Papua. Diduga hal ini dipicu oleh gugurnya Brigjen Gusti Putu Denny
Nugraha, Kepala Intelijen Daerah Papua yang diterjang peluru teroris. Ratusan prajurit TNI terbaik diterbangkan ke Papua. Pesawat-pesawat Angkatan Udara menggempur markas teroris OPM/TPN-KKB. Memang langkah tegas dan keras perlu sebagai schock therapy. Kita percaya bahwa kunci untuk membumikan damai di Papua adalah dengan membangun kesejahteraan Orang Asli Papua (OAP), rakyat Papua harus diangkat dari keterpurukan ekonomi-sosialnya sehingga ideologi separatisme dapat dikikis.

Dari sudut demografi, OAP sudah menurun prosentasenya dari waktu-ke waktu dibanding dengan pendatang yang kian deras arusnya. Memang perpindahan penduduk dalam wilayah satu negara sah menurut hukum, namun secara psikologis perbandingan pendatang dan OAP telah mengkhawatirkan atau meresahkan bagi OAP. Kurve kenaikan warga pendatang dengan OAP dalam 1-2 dekade mendatang pasti akan semakin menjadikan pendatang semakin besar dan “mayoritas mutlak” jika tak ada pengaturan pembatasan. Majelis Rakyat Papua (MRP) sendiri telah meminta Pemerintah untuk mengatasi meningkatnya pendatang dari luar yang telah menyebabkan warga Papua menjadi minoritas. Ini yang jadi momok

Psikologis bagi OAP. Ditambah lagi kondisi soial-ekonomi OAP akan menjadi lahan subur bagi tumbuhnya ideologi separatisme Papua. Separatisme Papua berakar disini: keterpurukan sosial-ekonomi dibandingkan dengan para pendatang.

Mengapa separatisme perlu dikikis? Apa dasar hukumnya? Tentu itu perlu kita pahami untuk mengerti tindakan keras Pemerintah menghajar separatis OPM/TPN-KKB yang sekarang sudah dicap oleh Pemerintah sebagai organisasi teroris. Tidak ada negara yang mentolerir separatisme, apalagi yang sudah mengangkat senjata. Negara yang tak berkutik membasmi separatisme bersenjata adalah negara yang sekarat, menunggu ajal.

KUHP kita pada dasarnya sudah dilengkapi dengan ketentuan melawan separatisme atau istilah internasionalnya sesessionisme. Pasal 106 KUHP memuat hukuman 20 tahun penjara kepada pelaku makar yang bermaksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau dengan maksud untuk memisahkan sebagian wilayah negara dari yang lain. Pada pasal 108 KUHP memuat hukuman bagi orang yang melawan pemerintah dengan senjata, dan yang melakukan penyerbuan senjata, juga pemimpin-pemimpin dan para pengatur pemberontakan. Bahkan KUHP kita memberi hukuman kepada orang-orang yang memberi bantuan kepada para pemberontak atau separatis di negara lain.

Organisasi separatis, yang menggunakan cara-cara intimidasi dan juga teror dalam perjuangannya, semakin jelas dipertegas dalam Undang-undang No. 5
Tahun 2018 untuk dilawan. Senjata lawan senjata, peluru lawan peluru, sah- sah saja. Menumpas separatis-teroris dari apa yang menamakan diri OPM/TKN-KKB yang angkat senjata sah menurut hukum nasional dan hukum internasional. Mereka harus mengerti hal ini agar tidak mimpi bahwa Pemerintah Indonesia akan bisa diajak berunding. Pemerintah tak mungkin diajak berunding. Jadi solusi yang mungkin adalah ditumpas atau menyerah. Gubernur Enembe yang meminta masalah Papua dibawa ke PBB harus mengerti ini. PBB tak bisa mencampuri masalah dalam negeri suatu negara, itu ditegaskan dalam Piagam PBB sendiri.

Persoalannya, bagaimana agar OPM/TPN-KKB dapat melepaskan angan- angan atau mimpi separatismenya? Disinilah dituntut kepiawaian Pemerintah mengambil kebijakan dengan soft power, pendekatan yang humanis.

Pemerintah juga perlu memahami bahwa kesenjangan secara politis antara pendatang dengan OAP adalah nyata, dimana kursi Dewan-dewan Perwakilan Kabupaten/Kota semakin sedikit jatuh ketangan OAP dan lebih banyak diduduki pendatang. OAP telah menjadi minoritas di lembaga perwakilan, misalnya di Sarmi, Boven Digul, Asmat, Mimika, Fakfak, Raja Ampat, Sorong dan banyak lagi. Untuk solusi mengatasi kesenjangan politik ini, perlu menetapkan aturan undang-undang yang menentukan kursi-kursi perwakilan maksimum utk pendatang adalah 50% kursi tanpa memandang besar- kecilnya jumlah pendatang dan OAP. Ini satu solusi yang menurut hemat saya layak dipertimbangkan.

Meningkatkan harkat dan martabat OAP melalui perbaikan sosial ekonomi, pendidikan dan politiknya yang mampu mensejahterakan material dan immaterial secara layak dan signifikan, setidak-tidaknya selevel dengan pendatang, akan membuat mereka merasakan diri sebagai bagian utuh dan orijinal bangsa Indonesia, dengan demikian mimpi separatisme dan aksi-aksi teror akan menciut dan sirna di Papua.

Penulis: Mangasi Sihombing, pengamat masalah politik dan hubungan internasional

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed