oleh

Gurindam Barus, Mitos atau Fakta?

Pernahkah mendengar tipu Aceh atau muslihat Aceh? Menurut hikayat, Belanda sangat kewalahan menaklukkan Nanggroe berjuluk Serambi Mekkah itu.

Apa sebab? Konon katanya, armada berlayar Belanda berada di tepian pesisir pantai Aceh takut mendekat berlabuh ke daratan.

Sebabnya, khalayak ramai Aceh berjejer di sepanjang garis pantai sambil menunggingi ke arah lautan lepas. Oleh teropong lensa angkatan perang Belanda
dikiranya itu meriam perang yang siap menggempur habis bala tent’ra kolonial. Sang Kapten Belanda gentar, urung berlabuh ‘tuk lepas sauh. Kapal putar
haluan. Vaya con dios.

Barus, negeri sepelemparan batu jauhnya dari Tanah Rencong punya cerita lain. Kala dulu, tersebutlah
Barus negeri persinggahan kaum dagang seantero. Portugis, Spanyol, Arab, Tamil, China, Majapahit, Sriwijaya dan masih banyak jua tidak tersebut bilangannya.

Menurut tutur turun temurun, ada satu masa kelam negeri berjuluk Fansur ini hilang penduduknya belum tahu sebab musabnya. Air bah kah, perang kah, burung raksasa kah. Tidak ada yang tahu. Pernah terucap garagasi lah sebabnya. Tetapi, sampai sekarang
tidak seorang jua pun tahu makhluk apa itu gerangan garagasi.

Alhasil, masyarakat Barus mungkin menjadi paranoid, ketakutan sekali, dengan pendatang baru. Dikaranglah
cerita seram berbau klenisme bahwa orang Barus sakti mandraguna, banyak racun, gadam, dan teman-temannya. Dan paling irrasional lagi, katanya di
Barus : ‘habang losung’ (lesung terbang). Mirip-mirip ilmu sihirnya Harry Potter. Saya katakan : 100% Hoax.

Buktinya apa? Buktinya, saya lahir dan besar di Tanah Bertuah ini belum pernah sekalipun melihat habang
losung. Di sudut Barus, kami lebih sering melihat piring terbang saat tiba-tiba terjaga gegara keributan di malam hari saat Bapak pulang dari Lapo Tuak. Rumah hening jadi gempar. Piring Terbang?!!! Iya Piring Terbang. Alien dari Planet Mars kah?!!! Tentu tidak.
Enaknya Tuak Barus membuat bapak lupa daratan. Bapak mabuk tuak. Tengah malam bapak pulang sempoyongan karena mabuk tuak. Buka pintu, perut bapak lapar. Maksud hati makan nasi, buka tutup periuk nasi. Apa daya periuk nasi kosong melompong.
Mampuslah aku, Belalang…Belalang!!! Habis sudah nasi dilahap si Ucok sepulang mandi dari sungai. Bapak naik pitam. Piring pun beterbangan dari dapur ke halaman, menyusul kursi melayang, kucing pun berlarian. Catat, ini fakta bukan mitos!!!

Tersiarlah kabar burung hingga ke negeri seberang. Awalnya ke Tanah Toba hingga menjalar ke seantero negeri bahwa hati-hati jikalau ke Barus. Malangnya, ada kalimat warisan dari para pendatang mengatakan :
“Marjea Barus, gatal dohot bulung-bulung.” (arti :Celakanya Barus, dedaunan pun menimbulkan gatal).
Sejatinya, mereka tidak tahu disemak belukar Barus banyak tumbuh ‘bulung ni Latong’. Sekali terkena kulit, gatalnya luar biasa. Maklum dahulu belum ada closet duduk di daerah sini. Ketika pendatang ini datang buang hajat sembarangan, diambilnyalah bulung ni Latong ini untuk membersihkan sisa hajatnya. Dan rasakan ini. Gatalnya pun luar biasa. Padahal obatnya sangat mujarab. Laburi kulit yang terpapar bulung ni Latong dengan tanah. Tambahkan air secukupnya.
Gatal hilang. Selesai perkara. Ajaibkah? Tidak. Penjelasannya sederhana. Bulung ni Latong mengandung zat kimia bersifat sangat asam sehingga ketika terkena
kulit gatalnya bukan main. Tanah bersifat basa. Asam + Basa = Netral. Itu sebabnya Gatal lenyap seketika. Pelajaran kimia sederhana bukan?

Cerita-cerita fiksi dan picisan seperti ini disebarluaskan terstruktur, sistematis dan massif oleh pendatang. Pesan itu terus berlanjut turun temurun. Hasilnya,
orang berpikir berkali-kali untuk menginjakkan kaki ke Barus. Itulah sebabnya Barus aman sejak dulu. Belum
pernah ada berita invasi ke Tanah Barus layaknya Tanah Toba diinvasi Pasukan Paderinya Tuanku Imam Bonjol.

Kalau Anda masih percaya dengan cerita mistisnya Barus dan sekitarnya, disarankan segera tinggalkan
kepercayaan Anda. Karena Anda adalah korban kesekian ribunya termakan gertak Barus : Gurindam Barus. Penduduk Barus sangat ramah, bersahabat. Lembut pula. Nada bicaranya mengayun bak semilirnya angin laut. Perempuan mana tidak akan terbuai, hai bujang lapuk. Alamak!!!Belalang…Belalang.
Aceh boleh punya muslihat Aceh. Kami di Barus punya Gurindam Barus, gertak sambal. Dan belum pernah ceritanya kami, Barus, berseteru dengan saudara kami, Aceh. Kami adalah tetangga terbaik. Bedanya, saudara kami terkadang pandai menipu dan tertipu. Tidak bisa membedakan mana pisang sale mana ta*k kucing. Rencong kiri kanan, dompet bisa hilang.

Jadi, apakah ceritera ini mitos atau fakta? Saya jawab, berada di antara keduanya, antara mitos atau fakta (in between).

Penulis : Dani Hotron Tampubolon

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed